1. Agama
Kata “agama” berasal dari bahasa Sanskerta, āgama
yang berarti “tradisi”. Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan
Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan
manusia serta lingkungannya.
Agama memberikan
penjelasan bahwa manusia adalah mahluk yang memilki potensi untuk berahlak baik
(takwa) atau buruk (fujur) potensi fujur akan senantiasa eksis dalam diri manusia
karena terkait dengan aspek instink, naluriah, atau hawa nafsu, seperti naluri
makan/minum, seks, berkuasa dan rasa aman. Apabila potentsi takwa seseorang
lemah, karena tidak terkembangkan (melalui pendidikan), maka prilaku manusia
dalam hidupnya tidak akan berbeda dengan hewan karena didominasi oleh potensi
fujurnya yang bersifat instinktif atau implusif (seperti berjinah, membunuh,
mencuri, minum-minuman keras, atau menggunakan narkoba dan main judi).
Agama di Indonesia
Enam agama utama di Indonesia
·
Islam
·
Kekristenan
Kristen Protestan
Kristen Katolik
·
Hindu
·
Buddha
·
Konghucu
Cara Beragama
·
Tradisional, yaitu cara beragama berdasar tradisi. Cara ini mengikuti
cara beragamanya nenek moyang, leluhur atau orang-orang dari angkatan
sebelumnya. Pada umumnya kuat dalam beragama, sulit menerima hal-hal keagamaan
yang baru atau pembaharuan. Apalagi bertukar agama, bahkan tidak ada minat.
Dengan demikian kurang dalam meningkatkan ilmu amal keagamaanya.
·
Formal, yaitu cara beragama berdasarkan formalitas yang berlaku di
lingkungannya atau masyarakatnya. Cara ini biasanya mengikuti cara beragamanya
orang yang berkedudukan tinggi atau punya pengaruh. Pada umumnya tidak kuat
dalam beragama. Mudah mengubah cara beragamanya jika berpindah lingkungan atau
masyarakat yang berbeda dengan cara beragamnya. Mudah bertukar agama jika
memasuki lingkungan atau masyarakat yang lain agamanya. Mereka ada minat
meningkatkan ilmu dan amal keagamaannya akan tetapi hanya mengenai hal-hal yang
mudah dan nampak dalam lingkungan masyarakatnya.
·
Rasional, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan rasio sebisanya.
Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan
pengetahuan, ilmu dan pengamalannya. Mereka bisa berasal dari orang yang
beragama secara tradisional atau formal, bahkan orang tidak beragama sekalipun.
·
Metode Pendahulu, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan akal dan hati
(perasaan) dibawah wahyu. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan
menghayati ajaran agamanya dengan ilmu, pengamalan dan penyebaran (dakwah).
Mereka selalu mencari ilmu dulu kepada orang yang dianggap ahlinya dalam ilmu
agama yang memegang teguh ajaran asli yang dibawa oleh utusan dari
Sesembahannya semisal Nabi atau Rasul sebelum mereka mengamalkan, mendakwahkan
dan bersabar (berpegang teguh) dengan itu semua.
2. Fungsi Agama
Fungsi agama dalam masyarakat
ada tiga aspek penting yang selalu dipelajari, yaitu kebudayaan, sistem sosial,
dan kepribadian.
Teori fungsional dalam melihat
kebudayaan pengertiannya adalah, bahwa kebudayaan itu berwujud suatu kompleks
dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sistem sosial
yang terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia-manusia yang berinteraksi,
berhubungan, serta bergaul satu dengan yang lain, setiap saat mengikuti
pola-pola tertentu berdasarkan adat tata kelakuan, bersifat kongkret terjadi di
sekeliling.
Fungsi agama dalam pengukuhan
nilai-nilai, bersumber pada kerangka acuan yang bersifat sakral, maka normanya
pun dikukuhkan dengan sanksi-sanksi sakral. Dalam setiap masyarakat sanksi
sakral mempunyai kekuatan memaksa istimewa, karena ganjaran dan hukumannya
bersifat duniawi dan supramanusiawi dan ukhrowi.
·
Fungsi agama di bidang
sosial adalah fungsi penentu, di mana agama menciptakan suatu ikatan bersama,
baik di antara anggota-anggota beberapa mayarakat maupun dalam
kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka.
·
Fungsi agama sebagai
sosialisasi individu ialah individu, pada saat dia tumbuh menjadi dewasa,
memerlukan suatu sistem nilai sebagai semacam tuntunan umum untuk (mengarahkan)
aktivitasnya dalam masyarakat, dan berfungsi sebagai tujuan akhir pengembangan
kepribadiannya. Orang tua di mana pun tidak mengabaikan upaya “moralisasi”
anak-anaknya, seperti pendidikan agama mengajarkan bahwa hidup adalah untuk
memperoleh keselamatan sebagai tujuan utamanya.
Oleh sebab itu, untuk mencapai
tujuan tersebut harus beribadat dengan kontinyu dan teratur, membaca kitab suci
dan berdoa setiap hari, menghormati dan mencintai orang tua, bekerja keras,
hidup secara sederhana, menahan diri dari tingkah laku yang tidak jujur, tidak
berbuat yang senonoh dan mengacau, tidak minum-minuman keras, tidak
mengkonsumsi obat-obatan terlarang, dan tidak berjudi. Maka perkembangan
sosialnya terarah secara pasti serta konsisten dengan suara hatinya.
3. Dimensi Komitmen Agama
Masalah
fungsionalisme agama dapat dinalisis lebih mudah pada komitmen agama, menurut
Roland Robertson (1984), diklasifikasikan berupa keyakinan, praktek,
pengalaman, pengetahuan, dan konsekuensi.
·
Dimensi keyakinan
mengandung perkiraan atau harapan bahwa orang yang religius akan menganut
pandangan teologis tertentu, bahwa ia akan mengikuti kebenaran ajaran-ajaran
agama.
·
Praktek agama mencakup
perbuatan-perbuatan memuja dan berbakti, yaitu perbuatan untuk melaksanakan
komitmen agama secara nyata. Ini menyangkut pertama ritual, yaitu berkaitan
dengan seperangkat upacara keagamaan, perbuatan religius formal, dan perbuatan
mulia. Kedua, berbakti tidak bersifat formal dan tidak bersifat publik serta
relatif spontan.
·
Dimensi pengalaman
memperhitungkan fakta, bahwa semua agama mempunyai perkiraan tertentu, yaitu
orang yang benar-benar religius pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan yang
langsung dan subjektif tentang realitas tertinggi, mampu berhubungan, meskipun
singkat, dengan suatu perantara yang supernatural.
·
Dimensi pengetahuan
dikaitkan dengan perkiraan, bahwa orang-orang yang bersikap religius akan
memiliki informasi tentang ajaran-ajaran pokok keyakinan dan upacara keagamaan,
kitab suci, dan tradisi-tradisi keagamaan mereka.
·
Dimensi konsekuensi dari
komitmen religius berbeda dengan tingkah laku perseorangan dan pembentukan
citra pribadinya.
4. Kaitan Agama dengan
Masyarakat
Kaitan agama dengan masyarakat
dapat mencerminkan tiga tipe, meskipun tidak menggambarkan sebenarnya secra
utuh (Elizabeth K. Nottingham, 1954) :
a. Masyarakat yang
terbelakang dan nilai-nilai sakral.
Masyarakat tipe ini kecil, terisolasi, dan terbelakang.
Anggota masyrakat menganut agama yang sama. Oleh karenanya keanggotaan mereka
dalam masyarakat dan dalam kelompok keagamaan adalah sama. Agama menyusup ke
dalam kelompok aktivitas yang lain. Sifat-sifatnya :
·
Agama memasukkan
pengaruhnya yang sacral ke dalam system nilai masyarakat secara mutlak.
·
Dalam keadaan lain
selain keluarga relatif belum berkembang, agama jelas menjadi fokus utama bagi
pengintegrasian dan persatuan dari masyarakat secara keseluruhan.
b. Masyarakat praindustri
yang sedang berkembang.
Keadaan masyarakatnya tidak terisolasi, ada perkembangan
teknologi yang lebih tinggi darpada tipe pertama. Agama memberikan arti dan
ikatan kepada system nilai dalam tiap mayarakat ini, tetapi pada saat yang sama
lingkungan yang sacral dan yang sekular itu sedikit-banyaknya masih dapat
dibedakan.
c. Masyarakat- masyarakat
industri sekular
Masyarakat industri bercirikan dinamika dan teknologi
semakin berpengaruh terhadap semua aspek kehidupan, sebagian besar penyesuaian-
penyesuaian terhadap alam fisik, tetapi yang penting adalah penyesuaian-
penyesuaian dalam hubungan kemanusiaan sendiri. Perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi mempunyai konsekuensi penting bagi agama, Salah satu akibatnya
adalah anggota masyarakat semakin terbiasa menggunakan metode empiris
berdasarkan penalaran dan efisiensi dalam menanggapi masalah kemanusiaan,
sehingga lingkungan yang bersifat sekular semakin meluas. Watak masyarakat
sekular menurut Roland Robertson (1984), tidak terlalu memberikan tanggapan
langsung terhadap agama. Misalnya pemikiran agama, praktek agama, dan
kebiasaan- kebiasaan agama peranannya sedikit.
5. Pelembagaan Agama
Pelembagaan agama adalah suatu tempat atau lembaga
untuk membimbing, membina dan mengayomi suatu kaum yang menganut agama.
Pelembagaan Agama di
Indonesia yang mengurusi agamanya
a. Islam : MUI
MUI atau Majelis Ulama Indonesia adalah Lembaga Swadaya
Masyarakat yang mewadahi ulama, zu’ama, dan cendikiawan Islam di Indonesia
untuk membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia.
Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 Hijriah, bertepatan
dengan tanggal 26 juli 1975 di Jakarta, Indonesia.
b. Agama Kristen
·
Kristen : Persekutuan
Gereja-gereja Indonesia (PGI)
PGI (dulu disebut Dewan Gereja-gereja di Indonesia – DGI)
didirikan pada 25 Mei 1950 di Jakarta sebagai perwujudan dari kerinduan umat
Kristen di Indonesia untuk mempersatukan kembali Gereja sebagai Tubuh Kristus
yang terpecah-pecah. Karena itu, PGI menyatakan bahwa tujuan pembentukannya
adalah “mewujudkan Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia.”
·
Katolik : Konferensi
Wali Gereja Indonesia (KWI)
Konferensi Waligereja Indonesia (KWI atau Kawali) adalah
organisasi Gereja Katolik yang beranggotakan para Uskup di Indonesia dan
bertujuan menggalang persatuan dan kerja sama dalam tugas pastoral memimpin
umat Katolik Indonesia. Masing-masing Uskup adalah otonom dan KWI tidak berada
di atas maupun membawahi para Uskup dan KWI tidak mempunyai cabang di daerah.
Keuskupan bukanlah KWI daerah. Yang menjadi anggota KWI adalah para Uskup di
Indonesia yang masih aktif, tidak termasuk yang sudah pensiun. KWI bekerja
melalui komisi-komisi yang diketuai oleh Uskup-Uskup. Pada 2006 anggota KWI
berjumlah 36 orang, sesuai dengan jumlah keuskupan di Indonesia (35 keuskupan)
ditambah seorang uskup dari Ambon (Ambon memiliki 2 uskup)
c. Hindu : Persada
Parisada Hindu Dharma Indonesia ( Parisada ) ialah: Majelis
tertinggi umat Hindu Indonesia.
d. Budha : MBI
Majelis Buddhayana Indonesia
adalah majelis umat Buddha di Indonesia. Majelis ini didirikan oleh Bhante
Ashin Jinarakkhita pada hari Asadha 2499 BE tanggal 4 Juli 1955 di Semarang,
tepatnya di Wihara Buddha Gaya, Watugong, Ungaran, Jawa Tengah, dengan nama
Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia (PUUI) dan diketuai oleh Maha Upasaka
Madhyantika S. Mangunkawatja.
e. Konghucu : Matakin
Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (disingkat MATAKIN)
adalah sebuah organisasi yang mengatur perkembangan agama Khonghucu di
Indonesia. Organisasi ini didirikan pada tahun 1955.
Keberadaan umat beragama Khonghucu beserta lembaga-lembaga
keagamaannya di Nusantara atau Indonesia ini sudah ada sejak berabad-abad yang
lalu, bersamaan dengan kedatangan perantau atau pedagang-pedagang Tionghoa ke
tanah air kita ini. Mengingat sejak zaman Sam Kok yang berlangsung sekitar abad
ke-3 Masehi, Agama Khonghucu telah menjadi salah satu di antara Tiga Agama
Besar di China waktu itu; lebih-lebih sejak zaman dinasti Han, atau tepatnya
tahun 136 sebelum Masehi telah dijadikan Agama Negara.
6. Agama ,Konflik dan
Masyarakat
Secara sosiologis, Masyarakat
agama adalah suatu kenyataan bahwa kita adalah berbeda-beda, beragam dan plural
dalam hal beragama. Ini adalah kenyataan sosial, sesuatu yang niscaya dan tidak
dapat dipungkiri lagi. Dalam kenyataan sosial, kita telah memeluk agama yang
berbeda-beda. Pengakuan terhadap adanya pluralisme agama secara sosiologis ini
merupakan pluralisme yang paling sederhana, karena pengakuan ini tidak berarti
mengizinkan pengakuan terhadap kebenaran teologi atau bahkan etika dari agama
lain.
Sebagaimana yang dikemukakan
oleh M. Rasjidi bahwa agama adalah masalah yang tidak dapat ditawar-tawar,
apalagi berganti. Ia mengibaratkan agama bukan sebagai (seperti) rumah atau
pakaian yang kalau perlu dapat diganti. Jika seseorang memeluk keyakinan, maka
keyakinan itu tidak dapat pisah darinya. Berdasarkan keyakinan inilah, menurut
Rasjidi, umat beragama sulit berbicara objektif dalam soal keagamaan, karena
manusia dalam keadaan involved (terlibat). Sebagai seorang muslim misalnya, ia
menyadari sepenuhnya bahwa ia involved (terlibat) dengan Islam. Namun, Rasjidi
mengakui bahwa dalam kenyataan sejarah masyarakat adalah multi-complex yang
mengandung religious pluralism, bermacam-macam agama. Hal ini adalah realitas,
karena itu mau tidak mau kita harus menyesuaikan diri, dengan mengakui adanya
religious pluralism dalam masyarakat Indonesia.
Di beberapa wilayah, integritas
masyarakat masih tertata dengan kokoh. Kerjasama dan toleransi antar agama
terjalin dengan baik, didasarkan kepada rasa solidaritas, persaudaraan,
kemanusiaan, kekeluargaan dan kebangsaan. Namun hal ini hanya sebagian kecil
saja karena pada kenyataannya masih banyak terjadi konflik yang disebabkan
berbagai faktor yang kemudian menyebabkan disintegrasi dalam masyarakat.
Banyak konflik yang terjadi di
masyarakat Indonesia disebabkan oleh pertikaian karena agama. Contohnya tekanan
terhadap kaum minoritas (kelompok agama tertentu yang dianggap sesat, seperti
Ahmadiyah) memicu tindakan kekerasan yang bahkan dianggap melanggar Hak Asasi
Manusia. Selain itu, tindakan kekerasan juga terjadi kepada perempuan, dengan
menempatkan tubuh perempuan sebagai objek yang dianggap dapat merusak moral
masyarakat. Kemudian juga terjadi kasus-kasus perusakan tempat ibadah atau
demonstrasi menentang didirikannya sebuah rumah ibadah di beberapa tempat di
Indonesia, yang mana tempat itu lebih didominasi oleh kelompok agama tertentu
sehingga kelompok agama minoritas tidak mendapatkan hak.
Permasalah konflik dan tindakan
kekerasan ini kemudian mengarah kepada pertanyaan mengenai kebebasan memeluk
agama serta menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan tersebut.
Seperti yang kita ketahui bahwa dalam UUD 1945, pasal 29 Ayat 2, sudah jelas
dinyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam memeluk agama
dan akan mendapat perlindungan dari negara.
Pada awal era Reformasi, lahir
kebijakan nasional yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Namun secara
perlahan politik hukum kebijakan keagamaan di negeri ini mulai bergeser kepada
ketentuan yang secara langsung membatasi kebebasan beragama. Kondisi ini
kemudian menyebabkan terulangnya kondisi yang mendorong menguatnya pemanfaatan
kebijakan-kebijakan keagamaan pada masa lampau yag secara substansial bertentangan
dengan pasal HAM dan konstitusi di Indonesia.
Hal ini lah yang dilihat
sebagai masalah dalam makalah ini, yaitu tentang konflik antar agama yang
menyebabkan tindakan kekerasan terhadap kaum minoritas dan mengenai kebebasan
memeluk agama dan beribadah dalam konteks relasi sosial antar agama. Penyusun
mencoba memberikan analisa untuk menjawab masalah ini dilihat dari sudut
pandang kerangka analisis sosiologis: teori konflik.
Dalam perjalannya sejarah,
sejak kepercayaan animisme dan dinamisme sampai monotheisme menjadi agama yang
paling banyak dianut di muka bumi ini agama hampir selalu menciptakan
perpecahan. Sebagai contoh, dalam agama India, khususnya Hindu-Budha, agama
yang dibawa Sidharta Gautama ini merupakan rekasi dari ekses negative yang di
bawa oleh agama Hindu. Walaupun agama Budha disebarkan dengan damai namun dapat
dengan jelas terlihat bahwa masalah pembagian kasta dalam bingkai caturvarna
menjadi masalah utama. Pada awalnya memang pembagian kasta ini merupakan
spesialisasi pekerjaan, ada yang menjadi pemimpin agama, penguasa dan prajurit,
dan rakyat biasa. Namun, dalam perjalannya terjadi penghisapan terutama dari
pemimpin agama, prajurit, dan penguasa terhadap rakyat jelata. Implementasi
yang salah dari caturvarna inilah yang diprotes dengan halus oleh Budha yang
pada awalnya tidak menyebut diri mereka sebagai agama, tetapi berfungsi
menebarkan cinta kasih terhadap sesama mahluk hidup, bukan saja manusia, tetapi
juga hewan, dan tumbuhan.
Sebagai reaksi dari meluasnya
pengaruh Budha, Otoritas Hindu kemudian mengadakan pembersihan terhadap
pengaruh Budha ini. Namun demikian, karena ajaran Budha lebih bersifat
egaliter, usaha otoritas hindu ini menemui jalan buntu, bahkan agama Bundha
sendiri dapat berkembang jauh lebih pesat dari pada agama Hindu, dan mendapat
banyak pemeluk di Negara Tiongkok di kemudian hari.
Selain itu unsur konflik yang
terbesar terjadi pula pada pengikut agama terbesar di dunia yaitu Abraham
Religions, atau agama yang diturungkan oleh Abraham, yaitu Yahudi, Nasrani, dan
Islam. Tulisan ini hanya membatasi pada penggambaran konflik di antara ketiga
agama tersebut, bukan pada konflik intern dalam masing-masing agama tersebut.
Inti dari agama-agama Abraham ini adalah akan datang nabi terakhir yang akan
menyelamatkan dunia ini. Hal yang menjadi masalah utama adalah tidak ada
kesepakatan diantara ketiga agama tersebut tentang siapa nabi yang akan datang
tersebut. Pihak Yahudi menyatakan belum datang nabi terakhir itu, sedangkan
pihak Nasrani mengatakan Nabi Isa (Yesus Kristus) adalah nabi terakhir, lalu
Islam mengklaim Nabi Muhhamad sebagai nabi terakhir. Keadaan ini kemudian
semakin diperparah ketika tidak ada pengakuan dari masing-masing agam yang
masih bersaudara tersebut. Ketika berbagai unsure non-theologis, khususnya politik,
ekonomi, dan budaya, menyusup ke dalam masalah ini, konflik memang tidak dapat
dielakkan.
Berbagai konflik
diantara agama-agama dipaparkan secara khusus:
·
Konflik antara Yahudi dan Nasrani. Walaupun sumber konflik ini didasarkan atas kitab suci
namun justru unsur dogmatis agama ini sangat mendukung pengambaran konflik yang
terjadi. Menurut versi Yahudi, Nasrani adalah agama yang sesat karena
menganggap Yesus sebagai mesias (juru selamat). Dalam pandangan Yahudi sendiri
Yesus adalah penista agama yang paling berbahaya karena menganggap dirinya
adalah anak Allah, sampai akhirnya otoritas Yahudi sendiri menghukum mati Yesus
dengan cara disalibkan, sebuah jenis hukuman bagi penjahat kelas kakap pada
waktu itu. Sedangkan menurut pandangan Kristen, umat Yahudi adalah umat pilihan
Allah yang justru menghianati Allah itu sendiri. Untuk itu Yesus datang ke
dunia demi menyelamatkan umat tersebut dari murka Allah. Dalam beberapa
kesempatan, misalnya, ketika Yesus mengamuk di bait Allah karena dipakai
sebagai tempat berjualan, atau dalam kasus lain yaitu penolakan orang Israel
terhadap ajaran Yesus.
·
Konflik Islam-Kristen.
Konflik ini pada awalnya diilhami oleh kepercayaan bahwa Islam memandang
Nasrani sebagai agama kafir karena mempercayai Yesus sebagai anak Allah, padahal
dalam ajaran Islam Nabi Isa (Yesus) merupakan nabi biasa yang pamornya kalah
dari nabi utama mereka Muhammad S.A.W. Konflik ini pada awalnya hanya pada
tataran kepercayaan saja, namun ketika unsur politis, ekonomi, dan budaya
masuk, maka konflik yang bermuara pada pecahnya Perang Salib selama beberapa
abad menegaskan rivalitas Islam-Kristen sampai sekarang. Konflik itu sendiri
muncul ketika Agama Kristen dan Islam mencapai puncak kejayaannya berusaha
menunjukkan dominasinya. Ketika itu Islam yang berusaha meluaskan pengaruhnya
ke Eropa, mendapat tantangan dari Nasrani yang terlebih dahulu ada dan telah
mapan. Puncak pertempuran itu sebenarnya terjadi ketika perebutan Kota Suci
Jerusalem yang akhirnya dimenangkan tentara salib. Sebagai balasan, Islam kemudian
berhasil merebut Konstatinopel yang merupakan poros dagang Eropa-Asia pada saat
itu.
·
Konflik antara Yahudi-Islam yang masih hangat dalam ingatan kita. Konflik ini berawal
dari kepercayaan orang Yahudi akan tanah yang dijanjikan Allah kepada mereka yang
dipercayai terletak di daerah Israel, termasuk Yerusalem, sekarang. Pasca
perbudakan Mesir, ketika orang Yahudi melakukan eksodus ke Mesir namun kemudian
malah diperbudak sampai akhirnya diselamatkan oleh Musa, orang Yahudi kemudian
kembali ke tanah mereka yang lama, yaitu Israel. Akan tetapi, pada saat itu
orang Arab telah bermukim di daerah itu. Didasarkan atas kepercayaan itu,
kemudian orang Yahudi mulai mengusir Orang Arab yang beragama Islam itu. Inilah
sebenarnya yang menjadi akar konflik Israel dan Palestina dalam rangka
memperebutkan Jerusalem. Konflik ini semakin panas ketika unsure politis mulai
masuk.
SUMBER :
0 komentar:
Posting Komentar